Posted by: Komunitas KabaenaMoronene | July 17, 2016

Misteri Gunung Watu Sangia

MISTERI GUNUNG WATU SANGIA BELUM TERUNGKAP

Oleh: Yamin Indas

Yamin Indas's photo.

Gunung Watu Sangia dilihat dari Desa Tangkeno (Foto: Yamin Indas) 

 

MEMASUKI perairan Pulau Kabaena dari barat pandangan kita akan segera menabrak sebuah gunung batu yang disebut Watu Sangia (dilafazkan watunsangia dalam dialek kabaena). Gunung ini tampak menjulang di tengah pulau tersebut. Puncaknya sekitar 1.450 meter dari permukaan laut (dpl). Data ketinggian ini masih perlu diuji akurasinya untuk mengungkap salah satu misteri Watu Sangia yang puncaknya bercabang dua itu.
Sebetulnya ada beberapa puncak gunung di Kabaena. Puncak lainnya adalah Sabampolulu (1850 meter), Sangia Wita, Wumbu Tolimbu, Wumbu Tandasa, dan Dampala Barata. Empat yang pertama, lokasinya berjajar dan saling berdekatan serta merupakan pasak utama daratan pulau tersebut.

Adapun data ketinggian Sabampolulu bersumber dari P Sadler, dokter Jerman yang pernah bertugas di Bau-Bau (Buton) dalam tahun 1960-an. Sadler sering berkunjung ke Pulau Kabaena dengan kegiatan khusus, mendaki gunung tersebut dan tentu saja ia memiliki altimeter. Ia didampingi penduduk Tangkeno yang biasa merambati tebing-tebing curam di sana.

Altimeter adalah alat pengukur ketinggian suatu tempat dari permukaan laut. Biasa digunakan dunia penerbangan, pendakian gunung, dan kegiatan lainnya.

Dokter tersebut bersama rombongannya sering menjumpai hewan-hewan liar di lereng dan puncak Gunung Sabampolulu. Antara lain gerombolan kambing liar. Tetapi menurut keterangan, gerombolan itu jinak-jinak merpati. Bahkan, suatu ketika Sadler pernah menangkap seekor di antaranya. Namun, seketika itu juga langsung turun hujan lebat dan alam sekitar terasa gelap oleh kabut tebal.

Pepohonan hutan juga mendadak batangnya seperti saling merapat sehingga menyulitkan perjalanan untuk balik ke Tangkeno. Tangkeno adalah sebuah kampung tua di kaki lereng Gunung Sangia Wita, terletak di ketinggian 620 meter dpl.

Menghadapi kesulitan tersebut, penunjuk jalan mendiang Injuru minta kepada dokter agar melepaskan kambing tersebut. Setelah hewan misterius itu dilepas, alam berangsur pulih kembali seperti sedia kala.

Penduduk Tangkeno mengatakan, populasi kambing di gunung tersebut merupakan ternak makhluk halus (jin) setempat. Orang Kabaena menyebut makhluk halus ‘Kowonuano’, yaitu penduduk (alam sana) yang mendiami dan menguasai daratan Pulau Kabaena. Sangia wita bermakna penguasa daratan (Kabaena) yang dipersonifikasi sebagai salah satu puncak gunung tadi.

Sangia Wita dan Watu Sangia dimitoskan sebagai dua pribadi yang saling segan satu sama lain. Suatu waktu mereka ‘bertukar pikiran’ dengan menunjukkan kesaktian masing-masing. Watu Sangia mengirim sebatang besi ke Sangia Wita sebagai lambang kekuatan. Tetapi Sangia Wita dengan mudah mematahkan besi tersebut. Dia membalas dengan mengirim sepotong rotan. Watu Sangia bereaksi dengan berusaha mematahkan rotan. Namun, namanya rotan yang lentur, tentu tidak bisa dipatahkan seperti halnya besi tadi.

Kendati Watu Sangia ‘kalah’ dari Sangia Wita, tetapi gunung batu itu justru menjadi ikon Pulau Kabaena dari segi estetika (keindahan). Tanpa terpaan sinar Matahari, puncak gunung tampak berkilau sepanjang waktu. Bila sinar mentari pagi telah menyentuhnya, maka cahaya gemerlapan akan lebih menyilaukan mata.

Keberdaan puncak batu tersebut menjadi sumber informasi cuaca bagi petani dan nelayan secara tradisional. Bila puncak itu berselimutkan awan tebal, maka hal itu menunjukkan bakal turun hujan.

Dalam cerita lisan (dongeng) dikatakan, lapisan awan yang membungkus puncak Watu Sangia diibaratkan seorang wanita (dahulu wanita Kabaena adalah pemakan sirih). Wanita tersebut singgah sebentar di puncak batu berkilau itu untuk mengunyah sirih. Setelah bersugi (menggosok-gosok gigi dengan tembakau pilihan), wanita itu pun membuang ludah. Nah, ludah itulah hujan!

Dipandang dari posisi kita di darat, lebih khusus lagi di Tangkeno, maupun saat posisi kita di laut, Gunung Watu Sangia berpuncak batu cadas, memang tampak misterius. Bahkan terkesan angker. Dari kejauhan, puncak batu itu tampak berlapis-lapis.

Puluhan tahun silam diceritakan ada seorang warga Desa Rahadopi bernama Ilimu. Kakek itu sering menelusuri lika-liku Watu Sangia. Dia memanjat hingga ke puncak baik melalui dinding batu maupun dahan-dahan yang malang melintang di tebing-tebing curam.

Dari puncak kemudian dia menurun ke arah dalam (dasar kawah). Menurut cerita kakek itu, di dasar kawah ada telaga bersuasana laut. Telaga itu mengandung banyak ikan. Daratan atau pantai telaga menampilkan suasana hutan mangrove seperti halnya pantai laut.

Tetapi semua itu kita anggap sebagai bagian dari misteri Gunung Watu Sangia. Misteri itu perlu diungkap agar keberadaan puncak batu tersebut makin menarik.

Kita berharap agar Mapala (mahasiswa pencinta alam) Universitas Indonesia mendorong rekan-rekannya di universitas-universitas lain terutama di Indonesia bagian timur, untuk melakukan ekspedisi Gunung Watu Sangia. Boleh jadi hanya Mapala yang akan mampu mengungkapkan misteri gunung batu itu. ***


Leave a comment

Categories